Sabtu, 24 Januari 2009

You Reap What You've Sown : Prelude.

Kau menuai apa yang kau taburkan. Pepatah yang sangat familiar terdengar, terucap, maupun dituliskan, hingga hampir-hampir kehilangan makna yang sesungguhnya.

Sebenarnya prinsip ini sangat sederhana. Kelewat sederhana malah. Dan saya kira prinsip ini merangkum hampir seluruh rahasia di dalam hidup ini. Kau menuai apa yang kau taburkan pada awalnya. Sangat eksplisit, dan begitu jelasnya.

Jika kau menaburkan kebaikan, maka di depan, kau akan menuai kebaikan.
Jika kau menaburkan keburukan, maka di depan, kau akan menuai keburukan.
Jika kau menaburkan pengertian, maka di depan, kau akan menuai pengertian.
Jika kau menaburkan kekecewaan, maka di depan, kau akan menuai kekecewaan.
Jika kau menaburkan keramahan, maka di depan, kau akan menuai keramahan.
Jika kau menaburkan kemarahan, maka di depan, kau akan menuai kemarahan.
Dan seterusnya…

Mungkin selanjutnya yang mesti diluruskan adalah sampai sebatas mana yang bisa disebut aktivitas menuai dan menabur itu.

Jawabannya adalah hingga pada tatanan pikiran, perasaan, dan REAKSI !

Jadi bukan hanya, tindakan saja, namun juga kita menuai dan menabur hingga pada ranah pikiran, perasaan, dan REAKSI. Ini sesungguhnya, membuka banyak rahasia yang selama ini menjadi pertanyaan, yang saat ini malah terkubur dalam-dalam karena kebiasaan dalam ke-common¬-an orang-orang, yang malas untuk berpikir dan menelaah lebih dalam.

Pernah terpikir seperti ini :

“Kenapa ya, hidup saya gini-gini melulu ?”
“Kenapa saya selalu mengalami hal yang sama berulang-ulang ? (Mending yang menyenangkan, ini malah yang ngga ngenakkin !)”
“Kenapa sih, dia (pacar, suami, istri, anak-anak, teman, atau orang lain selain diri kita) ngga pernah berubah ? Padahal saya udah ngomong berkali-kali !”

Well, jawaban yang paling singkat dan mencerahkan itu selalulah sama. Anda menuai apa yang anda taburkan. Karena itu, saran yang paling aplikatif adalah mulai bertanya pada diri kita sendiri. Kita bisa cukup bertanya pada diri kita seperti ini :

“Okay, dalam situasi seperti ini, apa yang biasa saya lakukan ?”

Lebih jauh lagi (dan ini sangat disarankan), kita seharusnya bertanya seperti ini :

“Dalam situasi ini, APA YANG BIASA SAYA RASAKAN, PIKIRKAN, DAN BAGAIMANA SAYA BEREAKSI TERHADAP SITUASI INI ?”

Asumsi saya adalah kita menabur dan menuai hingga kepada ranah pikiran, perasaan, dan reaksi, maka sekecil apapun perasaan yang ada, seremeh apapun pikiran yang terlintas, atau sesepele apapun reaksi yang terlontar, MAKA, sekali lagi MAKA, di masa yang akan datang (entah, sejam lagi, besok, lusa, atau 10 tahun lagi), apa yang terasa, terlintas, dan terlontar itu akan datang kembali.

Mark my words : APA YANG TERASA, TERLINTAS, DAN TERLONTAR ITU AKAN DATANG KEMBALI DI KEMUDIAN HARI.
You reap what you’ve sown. Kau menuai apa yang kau taburkan.

Kalau kita bertanya, “Kenapa sih hidup saya gitu-gitu aja ?” atau “Kenapa sih saya selalu mengalami hal yang sama (yang dalam hal ini adalah kemalangan dan ketidak-bahagiaan) berulang-ulang ?”
Sederhananya, itu karena kita melakukan hal yang sama berulang-ulang. Kita senantiasa merasakan PERASAAN yang SAMA, BERPIKIR dengan pola pikir dan cara yang SAMA, dan BEREAKSI dengan reaksi yang SAMA.

Apabila ada pertanyaan, “Kenapa sih dia ngga pernah bisa berubah, padahal udah jutaan kali saya bilangin ???”

I’d like to say it in every of your face, that is, karena, Anda senantiasa bereaksi dengan cara yang sama, Anda mengatakan hal yang sama, Anda merasakan hal yang sama, dan Anda berpikir dengan cara yang sama, yang mana—akuilah—adalah kebanyakan merupakan perasaan, pikiran, dan reaksi yang NEGATIF (Iyalah negatif, karena kalau engga, mana mungkin Anda mengeluh ? Bukankah keluhan juga merupakan sesuatu yang negatif—sesuatu yang tidak menyenangkan—bukan ?)

Contoh kasus antara orang tua dan anaknya. Ini bahkan saya alami sendiri lho. Jadi seperti ini, sedari kecil (hingga kemarin, semoga hari ini dan seterusnya tidak, amin) saya ingat saya selalu dikatai seperti ini apabila saya melakukan suatu ketelodoran, kecerobohan, maupun kesalahan-kesalahan :

“Kamu tuh, ngga pernah bisa ngelakuin sesuatu dengan bener yah !” atau “Ngelakuin apa juga kamu mah salaaah melulu !” atau “Kamu tuh ngga pernah ya dengerin orang ngomong ?? Masa salah lagi salah lagi sih ???” atau “Kamu tuh emang orangnya teledor, ceroboh !” atau “Ah, dasar pelupa kamu !!” atau banyak cap-cap lainnya, yang Insya Allah, bukan cap yang bagus nan membanggakan.

Pada awalnya, mungkin kita semua bisa menyimpulkan kalau saya ini orang yang memang ceroboh dan teledor. Yeah, semua common sense di masyarakat barangkali menganggapnya demikian. Tapi sekali saja, pernahkah kita berpikir dan memandang segalanya dari sudut pandang sang anak, yang dalam hal ini saya ?

Saya berani bersumpah, ketika di marahi seperti itu saya tersadar, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, karena saya tidak mau dimarahi lagi, karena dimarahi itu sangat menyakitkan bagi saya. Namun, taukah Anda, ketelodoran dan kecerobohan itu senantiasa berulang, DAN SAYA SAMA SEKALI TIDAK MENGINGINKANNYA. Saya sendiri bingung dan aneh, saya melakukan itu seperti di bawah sadar saya. It just happen, beyond my grasp of control, and guess what guys ? Kata-kata dan cap-cap di atas itu kembali berdatangan.

Saya baru tersadar hari ini. Kata-kata, cap-cap, dan reaksi-reaksi negatif itu telah ratusan kali datang pada saya, diiringi dengan keteledoran dan kecerobohan saya yang juga ratusan kali kerap saya lakukan.

Seperti lingkaran setan yang tak pernah putus, ya ?


-Continued to "You Reap What You've Sown : Chapter 2"-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar