Sabtu, 24 Januari 2009

You Reap What You've Sown : End.

As for those yang suka mencap orang-orang dengan cap-cap jelek, saya benar-benar menyarankan Anda untuk mulai mengganti cap-cap itu sekarang juga. Mulai dengan mengganti kata-kata yang selama ini biasa Anda lontarkan. Hindari kata-kata negatif. Gantilah dengan kata-kata positif yang encouraging.

Contohnya :

”Lain kali, hati-hati ya, saya percaya kamu akan lebih telaten ke depannya.”

Sederhana. Hanya mengganti kata-kata yang biasa Anda katakan, dengan kata-kata yang lebih positif. Lihat sendiri hasilnya. Lihat hasilnya pada diri Anda sendiri, dan pada orang lain. Coba biasakan ini sebulan saja secara rutin, hingga seluruh reaksi, pikiran, dan perasaan Anda menjadi sepenuhnya terbiasa. Ketika itu semua sudah Anda alami, rasakanlah sendiri perubahan yang maha dahsyat ini.

You reap what you’ve sown. Anda menuai apa yang Anda taburkan. Tidak pernah pepatah ini menjadi lebih jelas dari sekarang ini.


-End of Post-

You Reap What You've Sown : Chapter 3.

Sodara-sodara, mungkin inilah yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai peperangan terbesar yang senantiasa berlangsung seumur hidup, yakni melawan hawa nafsu atau ego. Di sinilah peperangan kita melawan ego dan hawa nafsu, yang bahkan pada hal yang sepele sekalipun.

Dan karena di setiap peperangan selalu ada yang kalah dan menang. Maka pihak yang berseteru selalulah antara kita dan hawa nafsu atau ego kita.

Sederhananya, apabila Anda selama ini memperoleh hal yang tidak menyenangkan terus menerus dan mulai bertanya kenapa, maka artinya, selama ini ego atau hawa nafsu Anda selalu berhasil menendang pantat Anda. Dan sedihnya lagi, Anda bahkan tak tahu kalau Anda sedang dizalimi oleh ego Anda. Anda bahkan tidak sadar kalau hawa nafsu Anda sedang menendang pantat Anda begitu keras, hingga Anda menganggapnya itu sebagai hal yang biasa, dan tersamar dibalik kata, “Oh, ya, gua emang gini orangnya, terus mau gimana lagi dong ?” Dan ketika itu, ego atau hawa nafsu Anda berpesta pora merayakan keberhasilannya melahap keberadaan sejati dari diri Anda yang sesungguhnya.

Peperangan itu tidak pernah dimulai, karena kita senantiasa lebih dulu menyerah dan kalah. Sangat menyedihkan !


Nah, sebelum saya melebar kemana-mana lagi, mari kita kembali.

Saya tadi bilang, bahwa kita harus mulai berpikir terhadap reaksi-reaksi yang selama ini senantiasa terlontar. Mulailah berpikir, “Kenapa saya bereaksi seperti ini ?” dan lanjutkan dengan “Apa untungnya buat saya ?” Biasanya reaksi negatif tidak akan membawa keuntungan bagi Anda selain hal-hal negatif lainnya yang akan datang ke hadapan Anda di kemudian hari.

Karena itu, ubah lah reaksi Anda !

Kalau selama ini Anda suka memaki, maka gantilah makian Anda dengan doa. Bisa ? Bisa, selama Anda mau. Karena itu cuma mengganti kata-kata saja. Meski semua pikiran dan perasaan Anda itu menolak sekuat-kuatnya, Anda tetap saja yang memiliki power untuk menentukan kata-kata Anda. Meski Anda harus menggigit bibir dan lidah Anda ketika mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan pikiran dan perasaan Anda, tapi Anda selalu bisa mengatakannya.

Mulailah peperangan ini dari hal-hal yang kecil. Karena ketika Anda berhasil, dan mulai membiasakan diri (ingat Anda akan merasa sangat tidak enak !) untuk keluar dari kebiasaan bereaksi dan berkata-kata yang negatif, maka selamat ! Anda sudah berhasil memenangi satu peperangan melawan ego dan hawa nafsu Anda, yang kemudian akan membawa Anda kepada sebuah ketakjuban nan dahsyat akan kemuliaan dan kehebatan diri Anda yang sesunguhnya !

As for those yang suka mencap orang-orang dengan cap-cap jelek, yang berargumen, “Emang dia mah orangnya kaya gitu ! Ngga salah dong gua !?”

Emang ngga salah, karena common sense-nya seperti itu. Tapi apakah kita benar-benar yakin kalo common sense itu memang sesuatu yang benar ? Saya berani bilang TIDAK ! TIDAK TIDAK TIDAK ! Banyak yang keliru ! Karena kalo iya, seharusnya banyak orang yang bahagia, tersenyum, dan senantiasa damai. Kenyataannya ? Anda lihat sendiri lah. Lebih banyak orang yang seneng atau susah di dunia ini ?


-Continued to You Reap What You've Sown : End-

You Reap What You've Sown : Chapter 2.

Malangnya, yang kerap disalahkan adalah yang melakukan. Yang senantiasa disalahkan dan di-judge adalah yang teledor dan ceroboh. Yang selalu dimarahi adalah saya dalam hal ini. Sedangkan ada prinsip seperti ini :

“You can’t change anything, anyone, other than yourself !”

Demi Tuhan, saya percaya sepenuh hati saya, bahwa kita ngga punya kuasa untuk ngerubah orang lain atau pun keadaan di luar diri kita, hingga kita sendiri dulu yang berubah.

Menilik dari contoh kasus di atas, maka pertanyaannya adalah, mana yang mesti lebih dulu diubah ? Jika Anda melihat kembali dan dengan baik memahami apa yang saya tulis di atas, maka Anda pasti tau jawabannya.

Untuk bagian ini saya ingin berteriak sekerasnya kalau bisa :

“STOP JUDGING YOUR LOVER, YOUR CHILDREN, YOUR FRIEND AND OTHER PEOPLE AROUND YOU. STOP THINKING, FEELING, REACTING, AND SAYING NEGATIVELY TOWARD AND ABOUT THEM, BECAUSE, FOR GOD SAKE, IT WON’T CHANGE A THING, AND WORSE, IT WILL KEEP HAPPENING AND HAPPENING UNTIL YOU DIE, ALONG YOUR OWN F**KIN’ IGNORANCE !!!!!”

Nah, bahkan saya pun saking emosionalnya jadi malah nge-judge nih. Hahaha.

Intinya sebetulnya sangat sederhana, yakni :

Jangan berharap hidup kita akan berubah, selama apa yang kita lakukan itu selalu sama.

Jangan berharap hidup kita, hal-hal yang terjadi pada kita, dan bahkan orang-orang sekitar kita akan berubah, SELAMA, reaksi, pikiran, perasaan kita terhadap hidup kita, terhadap hal-hal yang terjadi pada kita, dan terhadap orang-orang sekitar kita, adalah SAMA SAJA.

Mana bisa kita memperoleh sesuatu yang berbeda, apabila yang kita lakukan selama ini sama saja dari waktu ke waktu.

Nah, sekarang adalah solusinya. Yang juga amit-amit sederhananya. Satu-satunya cara adalah BERUBAH ! Keluar dari lingkaran setan itu dengan berubah ! Ubah pikiran Anda, perasaan Anda, dan reaksi Anda !

Nah untuk mengawalinya, kita bisa mulai dengan merubah reaksi kita. Apabila selama ini kita bereaksi secara otomatis, maka cobalah untuk diam sejenak dan berpikir. YA, BERPIKIR.

Contoh konkritnya, apabila Anda sedang berkendara entah mobil ataupun sepeda motor dan ada orang lain yang menyalip Anda atau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan Anda, maka, instead Anda melakukan hal yang selama ini selalu Anda lakukan (berteriak, mengumpat, mengklakson dengan ganasnya disertai dengan muka stelan bengis), Anda bisa DIAM SAJA. Tidak bereaksi. Cukup diam.

Kemudian rasakan gejolak pikiran dan perasaan Anda. Barangkali setiap sudut dari pikiran dan perasaan Anda (yang sebagian besar diwakili oleh ego atau hawa nafsu Anda). Mereka semua akan berteriak pada Anda kalau Anda seharusnya tidak diam saja, Anda seharusnya melawan dengan cara yang biasa Anda lakukan (walaupun hampir tidak ada pengaruh positifnya bagi Anda, kecuali kepuasan semu yang akan membuat ego Anda tertawa terbahak-bahak). Singkatnya suara-suara itu akan terus menghajar Anda dengan berbagai pembenaran-pembenaran, dan membuat Anda merasa tidak seperti diri Anda sendiri apabila Anda tidak mengikuti apa yang suara-suara itu katakan pada Anda.


-Continued to You Reap What You've Sown : Chapter 3-

You Reap What You've Sown : Prelude.

Kau menuai apa yang kau taburkan. Pepatah yang sangat familiar terdengar, terucap, maupun dituliskan, hingga hampir-hampir kehilangan makna yang sesungguhnya.

Sebenarnya prinsip ini sangat sederhana. Kelewat sederhana malah. Dan saya kira prinsip ini merangkum hampir seluruh rahasia di dalam hidup ini. Kau menuai apa yang kau taburkan pada awalnya. Sangat eksplisit, dan begitu jelasnya.

Jika kau menaburkan kebaikan, maka di depan, kau akan menuai kebaikan.
Jika kau menaburkan keburukan, maka di depan, kau akan menuai keburukan.
Jika kau menaburkan pengertian, maka di depan, kau akan menuai pengertian.
Jika kau menaburkan kekecewaan, maka di depan, kau akan menuai kekecewaan.
Jika kau menaburkan keramahan, maka di depan, kau akan menuai keramahan.
Jika kau menaburkan kemarahan, maka di depan, kau akan menuai kemarahan.
Dan seterusnya…

Mungkin selanjutnya yang mesti diluruskan adalah sampai sebatas mana yang bisa disebut aktivitas menuai dan menabur itu.

Jawabannya adalah hingga pada tatanan pikiran, perasaan, dan REAKSI !

Jadi bukan hanya, tindakan saja, namun juga kita menuai dan menabur hingga pada ranah pikiran, perasaan, dan REAKSI. Ini sesungguhnya, membuka banyak rahasia yang selama ini menjadi pertanyaan, yang saat ini malah terkubur dalam-dalam karena kebiasaan dalam ke-common¬-an orang-orang, yang malas untuk berpikir dan menelaah lebih dalam.

Pernah terpikir seperti ini :

“Kenapa ya, hidup saya gini-gini melulu ?”
“Kenapa saya selalu mengalami hal yang sama berulang-ulang ? (Mending yang menyenangkan, ini malah yang ngga ngenakkin !)”
“Kenapa sih, dia (pacar, suami, istri, anak-anak, teman, atau orang lain selain diri kita) ngga pernah berubah ? Padahal saya udah ngomong berkali-kali !”

Well, jawaban yang paling singkat dan mencerahkan itu selalulah sama. Anda menuai apa yang anda taburkan. Karena itu, saran yang paling aplikatif adalah mulai bertanya pada diri kita sendiri. Kita bisa cukup bertanya pada diri kita seperti ini :

“Okay, dalam situasi seperti ini, apa yang biasa saya lakukan ?”

Lebih jauh lagi (dan ini sangat disarankan), kita seharusnya bertanya seperti ini :

“Dalam situasi ini, APA YANG BIASA SAYA RASAKAN, PIKIRKAN, DAN BAGAIMANA SAYA BEREAKSI TERHADAP SITUASI INI ?”

Asumsi saya adalah kita menabur dan menuai hingga kepada ranah pikiran, perasaan, dan reaksi, maka sekecil apapun perasaan yang ada, seremeh apapun pikiran yang terlintas, atau sesepele apapun reaksi yang terlontar, MAKA, sekali lagi MAKA, di masa yang akan datang (entah, sejam lagi, besok, lusa, atau 10 tahun lagi), apa yang terasa, terlintas, dan terlontar itu akan datang kembali.

Mark my words : APA YANG TERASA, TERLINTAS, DAN TERLONTAR ITU AKAN DATANG KEMBALI DI KEMUDIAN HARI.
You reap what you’ve sown. Kau menuai apa yang kau taburkan.

Kalau kita bertanya, “Kenapa sih hidup saya gitu-gitu aja ?” atau “Kenapa sih saya selalu mengalami hal yang sama (yang dalam hal ini adalah kemalangan dan ketidak-bahagiaan) berulang-ulang ?”
Sederhananya, itu karena kita melakukan hal yang sama berulang-ulang. Kita senantiasa merasakan PERASAAN yang SAMA, BERPIKIR dengan pola pikir dan cara yang SAMA, dan BEREAKSI dengan reaksi yang SAMA.

Apabila ada pertanyaan, “Kenapa sih dia ngga pernah bisa berubah, padahal udah jutaan kali saya bilangin ???”

I’d like to say it in every of your face, that is, karena, Anda senantiasa bereaksi dengan cara yang sama, Anda mengatakan hal yang sama, Anda merasakan hal yang sama, dan Anda berpikir dengan cara yang sama, yang mana—akuilah—adalah kebanyakan merupakan perasaan, pikiran, dan reaksi yang NEGATIF (Iyalah negatif, karena kalau engga, mana mungkin Anda mengeluh ? Bukankah keluhan juga merupakan sesuatu yang negatif—sesuatu yang tidak menyenangkan—bukan ?)

Contoh kasus antara orang tua dan anaknya. Ini bahkan saya alami sendiri lho. Jadi seperti ini, sedari kecil (hingga kemarin, semoga hari ini dan seterusnya tidak, amin) saya ingat saya selalu dikatai seperti ini apabila saya melakukan suatu ketelodoran, kecerobohan, maupun kesalahan-kesalahan :

“Kamu tuh, ngga pernah bisa ngelakuin sesuatu dengan bener yah !” atau “Ngelakuin apa juga kamu mah salaaah melulu !” atau “Kamu tuh ngga pernah ya dengerin orang ngomong ?? Masa salah lagi salah lagi sih ???” atau “Kamu tuh emang orangnya teledor, ceroboh !” atau “Ah, dasar pelupa kamu !!” atau banyak cap-cap lainnya, yang Insya Allah, bukan cap yang bagus nan membanggakan.

Pada awalnya, mungkin kita semua bisa menyimpulkan kalau saya ini orang yang memang ceroboh dan teledor. Yeah, semua common sense di masyarakat barangkali menganggapnya demikian. Tapi sekali saja, pernahkah kita berpikir dan memandang segalanya dari sudut pandang sang anak, yang dalam hal ini saya ?

Saya berani bersumpah, ketika di marahi seperti itu saya tersadar, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, karena saya tidak mau dimarahi lagi, karena dimarahi itu sangat menyakitkan bagi saya. Namun, taukah Anda, ketelodoran dan kecerobohan itu senantiasa berulang, DAN SAYA SAMA SEKALI TIDAK MENGINGINKANNYA. Saya sendiri bingung dan aneh, saya melakukan itu seperti di bawah sadar saya. It just happen, beyond my grasp of control, and guess what guys ? Kata-kata dan cap-cap di atas itu kembali berdatangan.

Saya baru tersadar hari ini. Kata-kata, cap-cap, dan reaksi-reaksi negatif itu telah ratusan kali datang pada saya, diiringi dengan keteledoran dan kecerobohan saya yang juga ratusan kali kerap saya lakukan.

Seperti lingkaran setan yang tak pernah putus, ya ?


-Continued to "You Reap What You've Sown : Chapter 2"-

Reality of Reality.

Tulisan ini adalah hasil dari inspirasi yang membuncah setelah membaca The Book of Secrets karya Deepak Chopra.

Realitas dari sebuah realitas. Atau kenyataan akan sebuah kenyataan. Pertanyaannya adalah, seberapa yakin kita berpikir bahwa dunia di sekeliling kita adalah "nyata" dan benar-benar berada "di luar" diri kita ?

Dengan yakin, Chopra berulang-ulang mengatakan bahwa dunia TIDAk berada di luar, tapi berada DIDALAM diri seseorang.

Dunia adalah persepsi. Persepsi adalah dunia. Begitulah tulisnya.
Terus terang, saya sangat menyetujui tulisan Chopra ini.

Anda masih belum yakin ?
Izinkan saya untuk mencoba meyakinkan Anda.

Sekarang, ketika Anda membaca tulisan saya ini, Anda pasti sedang menggunakan komputer, karena itu, saya minta Anda untuk mengangkat mouse yang sedari tadi Anda gunakan ke hadapan muka Anda. Genggamlah mouse itu dengan kedua tangan Anda, pusatkan perhatian Anda sepenuhnya terhadap apa yang sedang berada dihadapan Anda sekarang.

Sebuah mouse.

Katakan kepada diri Anda sendiri, "saya bisa melihat mouse ini" Silahkan Anda teliti dengan baik mouse itu. Bentuknya. Warnanya. Desainnya. Semuanya.

Kemudian, katakan kepada diri Anda sendiri, "saya bisa merasakan mouse ini".
Silahkan Anda konsentrasikan pikiran Anda kepada indera peraba Anda, dengan betul-betul merasakan tekstur mouse itu. Apakah mouse itu besar atau justru kecil di kedua belah tangan Anda. Apakah mouse itu terasa halus atau kasar. Apakah mouse itu terasa dingin, hangat, atau panas di kedua telapak tangan Anda. Semuanya.

Taruhlah kembali mouse itu, dan kembalilah membaca tulisan ini.

Semua aktivitas yang tadi Anda lakukan, adalah sebuah aktivitas untuk mempertegas "kenyataan" dari sebuah mouse. Anda akan berkata bahwa mouse itu memang nyata.
Anda bisa melihatnya dengan jelas. Anda bisa merasakan bentuk dan tekstur di kedua tangan Anda. Anda akan percaya bahwa mouse itu memang ada dan betul-betul riil.

Biar saya katakan sesuatu kepada Anda. Semua yang ada rasakan dari mouse tersebut hanyalah sebuah "sensasi" yang muncul di dalam otak Anda. "Sensasi" ini tercipta melalui saluran inderawi yang Anda miliki. Sensasi-sensasi ini terkumpul sebagai hasil analisa indera penglihatan dan indera peraba Anda, yang pada akhirnya otak Anda menciptakan sebuah kesimpulan bahwa mouse itu benar-benar nyata. Otak akan menciptakan sebuah persepsi bahwa mouse itu memang riil. Tolong garis bawahi kata "menciptakan" tadi.

Sekarang mari kita renungkan bersama-sama. Apa yang terjadi apabila sensasi itu tidak pernah tercipta di otak Anda ?

Mudahnya, cukup bayangkan apabila Anda tidak bisa melihat apapun.
Anda buta.

Apakah sekarang Anda akan menganggap bahwa mouse tadi itu nyata ?
Anda mungkin akan berkata, bahwa mouse itu tetaplah nyata karena Anda bisa merasakan keberadaannya lewat telapak tangan Anda.

Sekarang bayangkan kembali, setelah Anda buta, indera peraba Anda pun tidak bekerja sama sekali.
Apakah sekarang mouse itu "ada" bagi Anda ?
Anda mungkin saja masih tetap akan berkata, kalau mouse itu tetap ada.
Alasannya karena, Anda pernah melihat bentuk sebuah mouse sebelum Anda buta dan tidak bisa merasakan sama sekali.

Yah, Anda benar. Tapi saya yakin, kalau realitas mouse yang ada dalam pikiran Anda sekarang sudah berkurang kadarnya. Yang ada dalam pikiran Anda, jika Anda buta dan tidak bisa merasakan apapun, hanyalah seonggok mouse yang memiliki definisi-definisi umum seperti fungsi umum, bentuk secara umum, dan lain-lain. Anda tidak lagi bisa mengetahui detail dan spesifikasi yang dimiliki tiap-tiap mouse.

Kalau saya persingkat, maka hanya sebatas itulah "kenyataan" sebuah mouse bagi Anda, yang sekarang ini-ceritanya-buta dan tidak bisa merasakan apa-apa. "Kenyataan" yang jelas berbeda, ketika Anda masih menggunakan mata dan tangan Anda.

Sekarang mari kita renungkan kembali suatu hal. Apa yang bakal terjadi apabila Anda itu buta dan tidak bisa merasakan apa-apa sejak lahir ? Anda tidak akan pernah tahu bentuk bentuk apapun, Anda tidak akan pernah tahu warna-warna, dan banyak lagi.

Pertanyaan saya masih sama, apakah realitas yang Anda alami akan betul- betul sama dengan yang Anda alami sekarang ini ? Apakah mouse ini akan benar-benar "ada" bagi Anda yang tidak pernah melihat dan merasakan apa-apa (secara fisik) itu ?

Kita adalah orang-orang yang dianugerahi oleh kemampuan fisik dan indera yang lengkap. Sehingga realitas yang dihasilkan oleh otak kita pun menjadi beragam dan bervariasi. Bahkan seringnya, kita cukup melihat, untuk kemudian percaya.

"What eyes see, mind will believe." - Gabriel, Swordfish.

Realitas atau kenyataan bagi kita adalah semua hal yang tertangkap oleh kelima indera kita. Realitas atau kenyataan bagi kita adalah semua hal yang tertangkap oleh mata.

"Seeing is believing" - Ancient Quote.

Mungkin benar adanya, apabila dunia ini telah kita persempit lewat mata kita. Kebanyakan Realitas bagi kita adalah realitas yang sifatnya visual.

Karena itu, betapa mudahnya kita terperdaya. Betapa mudahnya persepsi kita diperdaya. Betapa mudahnya kita tertipu oleh realitas-realitas palsu yang sama sekali tidak nyata.

Bagaimana dengan orang yang buta ? Maka realitas yang ia miliki, secara sederhana, hanyalah realitas yang sifatnya auditif. Sesuatu itu "ada" apabila berbunyi.

Bagaimana dengan orang yang buta dan tuli ? Sesuatu itu "ada" baginya apabila sesuatu itu bisa dirasakan atau memiliki bau-bauan.

"Sadarilah bahwa Kalau Anda kurangi sendiri dari sensasi yang manapun- entah itu penglihatan, suara, sentuhan, rasa, bau- maka suatu benda bukanlah apa-apa selain atom-atom yang bergetar di ruang hampa" - Deepak Chopra

Kini, setujukah Anda bahwa dunia itu TIDAK BERADA di luar, melainkan berada DI DALAM diri Anda ?

Dunia yang ada di sekeliling kita, hanyalah hasil dari jutaan sensasi yang tidak detiknya tercipta melalui semua panca indera kita, yang kemudian otak merangkainya menjadi sebuah benda, sebuah "sesuatu".
Sebuah persepsi. Sebuah dunia.

DUNIA YANG ANDA LIHAT, DENGAR, DAN RASAKAN, SEPENUHNYA MERUPAKAN HASIL KREASI OTAK ANDA. DUNIA BERADA DI DALAM PIKIRAN DAN DIRI ANDA. MEREKA TIDAK BENAR-BENAR BERADA DI LUAR SANA. TANPA KREASI DARI OTAK ANDA, MEREKA HANYALAH ATOM-ATOM YANG BERGETAR DI RUANG HAMPA.

Sangat kontroversial. Tapi saya sangat mencintainya.
Bagaimana dengan Anda ?

Apabila satu dari panca indera kita tidak bekerja, maka seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, nilai atau derajat realitas itu menjadi berkurang nilainya. Karena sensasi yang biasanya disampaikan oleh salah satu indera itu tidak pernah lagi ada. Karena itu "dunia" bisa saja menjadi sebuah "dunia yang pincang".
Dunia tanpa bentuk. Dunia tanpa suara. Atau dunia tanpa rasa.

"Semua itu kosong, semua itu hampa" - Tong Sam Chong, Journey To West

Saya membayangkan, apabila kelima indera saya itu sama sekali tidak bekerja. Lantas apa yang terjadi pada saya ? Saya tidak pernah tau. Karena saya terlahir dengan kelima indera yang lengkap dan masih sehat wal afiat.

Tapi kalau saya berpikir lebih jauh. Apabila kelima indera itu memang tidak bekerja. Maka apakah dunia itu benar-benar ada bagi saya ? Apakah arti kenyataan atau realitas bagi seseorang yang sama sekali tidak memiliki seluruh panca indera untuk digunakan ?

Saya rasa, untuk hal di atas, maka kenyataan atau realitas ini akan sampai pada sebuah frase yang sering diucapkan oleh banyak kaum sufi, yakni "Realitas Tunggal" - "Singular Reality".

Semua tidak lantas sirna. Anda bakal tetap ada. Komputer di depan saya dan Anda ini tidak pergi ke mana-mana meskipun seluruh panca indera saya berhenti bekerja.

Namun perbedaannya, seperti yang ditulis oleh Chopra : "tidak ada lagi
"keterpisahan", terjadilah suatu sapuan kreatif tunggal..."

Anda dan saya berada di kutub yang berlawanan saat ini, tetapi tidak ada keterpisahan.
Anda, saya, segalanya menyatu. Berada dalam sebuah entitas tunggal nan Agung - bersama Sang Arsitek Maha Besar.

Marilah kita bersyukur dan merenungkan kembali perjalanan hidup kita.


ps 1 : Saya sendiri belum bisa memahami sepenuhnya tentang topik ini, terutama tentang ketidak-terpisahan dan realitas tunggal.


ps 2 : Saya menemukan dua tontonan yang cukup relevan dengan topik ini, mereka adalah karya Dokumenter Harun Yahya - "Realitas Penciptaan", dan film Hollywood karya Wachowski Brothers - "The Matrix".

Fatum (Entry : 3 years ago)

Film Serendipity. Drama romantis ini baru menimbulkan efek kognisi yang lumayan hebat sama pikiran gua, ketika gua menonton untuk yang ketiga kalinya. Dan dialog sahabat si Jonathan Traggart-lah yang membuat semua ini terjadi. Gua cuma bisa nangkep intinya, sisanya gua tambahin sendiri. Semoga ngga terlalu melenceng. Dialog-dialog inilah yang bagi gua sangat mengesankan.


“When God closes the door, He opens the window.”.


Rupanya memang tidak ada yang disebut dengan ‘kebetulan’. Semua peristiwa dan kejadian yang terjadi pada setiap manusia, segala hal yang membuat manusia dengan manusia lain menjadi terhubung satu sama lain sekecil apapun, merupakan rajutan dari aliran ‘waktu’ dan ‘masa’ yang memuncak pada suatu ‘Rencana Yang Luhur’. Ketika manusia bergerak secara harmonis dengan tarian alam semesta, selaras dengan ‘Yang Tengah Mengalir’, serta memiliki ‘keyakinan’ yang tidak tersentuh oleh realitas-realitas kebendaan, saat itulah terjadi apa yang biasa orang-orang kuno zaman dahulu menyebutnya dengan sebutan ‘fatum.


Ada yang menyebutnya dengan ‘fate’.

Ada yang menamakannya dengan ‘destiny’.

Kita di Indonesia mengistilahkannya dengan sebutan...


‘Takdir’


Simply an impressive dialogue.

Conscience & Humanistic Perfect Dualism (Entry : 3 years ago)

Di bawah ini adalah dialog antara Masamune Date (Botenmaru) dan Akira yang berbicara tentang penerus utama Ieyasu Tokugawa dari Klan Tokugawa, yakni Hidetada Tokugawa. Dialog ini gua ambil dari komik Samurai Deeper Kyo yang menggabungkan antara fiksi dan sejarah Jepang saat zaman perang Sekigahara berlangsung. Of course, biar lebih jelas, ada beberapa kata dan kalimat yang gua edit-edit.

Akira : “Aneh, kenapa tombak Hokurakushimon mau meminjamkan kekuatan pada orang yang tak punya tekad, ya ?”

Botenmaru : “Kamu mau tahu khan, Akira ?”

Akira : “Eh ?”

Botenmaru : “Seperti yang kamu bilang, dia (Hidetada) adalah anak orang kaya yang manja... dia bukan lawan yang sebanding dengan pekerja keras dan petarung yang bertekad besar seperti kamu.”
Botenmaru : “Tapi, dia punya sebuah modal besar untuk menutupi kekurangan itu.”

Akira : “Modal besar yang bisa menggantikan ‘tekad’ seorang samurai ? Bagi seorang samurai, ‘tekad’ dan ‘jiwa’ adalah segalanya.”

(Kemudian seraya tersenyum, Botenmaru menanggapi pernyataan Akira)

Botenmaru : “Kalau begitu aku tanya, di mana ‘jiwa’ itu berada ?”
Akira : “Ya, tentu saja di kepala kita. Bagian paling penting dari manusia.”

(Dengan perlahan Botenmaru pun meletakkan telapak tangannya di dada Akira)

Botenmaru : “Tempat bersemayamnya jiwa manusia... di sini...”

Akira : “Hah ?”

Botenmaru : “Dan yang ada dalam diri Hidetada adalah sesuatu yang bukan hanya berharga bagi seorang samurai, tapi juga bagi seluruh manusia... Hal itu adalah ‘Nurani’.”

Akira : “Nurani ?”

Botenmaru : “Hokurakushimon meminjamkan kekuatan pada ‘Nurani’ Hidetada, sudah kubilang bahwa terkadang keinginan seseorang ini bisa menciptakan keajaiban semacam itu.”

Akira : “Menggelikan.” (seraya membalikkan tubuhnya memunggungi Botenmaru)

Botenmaru : “Oh ya ? Tapi menurutku itu benar. Tadi Saisei (samurai wanita yang sebelumnya bertarung habis-habisan melawan Akira) bisa membuatmu begitu terdesak bukan hanya karena ‘tekad’ tapi juga karena ‘nurani’-nya untuk membalas tantanganmu.”

Akira : “...”
Akira : “Peristiwa itu sudah selesai. Lagi pula itu tidak penting bagiku.”

Botenmaru : “Begitu ? Tapi Akira, aku yakin ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dirimu sekarang ini. Itu adalah ‘nurani’ yang tumbuh karena kau mau mendampingi Saisei di saat-saat terakhirnya.”

Akira : “...”

Botenmaru : “Hidetada adalah orang yang sangat menarik.”
Botenmaru : “Manusia adalah makhluk yang lemah kalau hanya mengandalkan akal, pikiran, dan tekad saja. Dengan itu saja hati manusia tidak akan tergerak. Masih ada sesuatu yang lebih berharga yaitu ‘Nurani’. Dan dia memilikinya.”
Botenmaru : “Ieyasu harus bersyukur memiliki anak yang hebat ini, ia bisa tumbuh lebih kuat lagi.”

--oo--

We see human as a savage beast. —Sigmund Freud.

Adakah hewan yang tega memakan anaknya sendiri ? Hal ini hanya terjadi pada manusia, yang membuatnya lebih zalim daeripada hewan. —Pepatah Sunda plus beberapa tambahan dari sumber yang lain intinya sama.

Conscience is what makes human ‘human’. —Unknown.

Selanjutnya, ini adalah apa yang dihasilkan oleh pikiran gua.

Ketika kesempurnaan diartikan sebagai keseimbangan total yang melibatkan seluruh elemen gelap dan terang secara sekaligus, maka itulah yang terjadi pada manusia.
Kenapa Tuhan menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna ?

‘Kesempurnaan’ yang dialamatkan pada manusia bukanlah sesuatu yang menyiratkan kebaikan dan keindahan di setiap hal.

‘Kesempurnaan’ ini adalah terdapatnya kebaikan dengan kejahatan, mengapungnya keindahan dengan keburukan, berdirinya akal sehat dengan hawa nafsu, dan bertarungnya nurani jiwa dengan hasrat keinginan.

‘Kesempurnaan’ adalah ‘Keseimbangan’, adalah kekuatan yang mampu menjaga ‘Keseimbangan’ agar tetap pada porsinya.

Gelap dan Terang. Siang dan Malam. Laki-laki dan Perempuan. Malaikat dan Iblis. Surga dan Neraka. Materi dan Antimateri.

Ke-Ada-an dan Ke-Tiada-an.

Manusia adalah makhluk dengan ‘keseimbangan’ dualisme yang ‘sempurna’.
Manusia bisa menjadi malaikat dengan secuil cercahan cahaya surgawi.
Atau menjelma menjadi iblis bengis beraroma darah dan beraurakan api neraka.
Manusia senantiasa berada ditengah-tengahnya.
Dan sesekali mengunjungi kedua sisi itu dengan jembatan yang bernama ‘Pilihan’.

Yes, that’s why everybody’s perfect.

Butterfly Effect. (Entry : 4 Year Ago)

Waktu itu gua sempet nonton Butterfly Effects with ma’ Bros. What can i say ? This movie is so f**kin’ awesome. The idea is a masterpiece. Physicologically Insane, i’d like to say. Jadi si Asthon Kutcher ini kaya punya kemampuan buat kembali ke masa lalu ketika dia baca jurnal yang selalu dia tulis sejak berumur 7 tahun. Dia bisa kembali ke masa lalu dia yang mana aja, dengan tujuan buat ngerubahnya jadi lebih baik. Heh, but instead of fixing what went wrong to the right thing, beriringan dengan perbuatannya itu, dia sesungguhnya ngerubah jalan hidup dirinya sendiri dan orang lain, terutama orang-orang terdekatnya. Kaya temen cewenya, Kayleigh yang diperankan oleh Amy Smart. Ketika si Ashton made a small flick to change the past, cewe ini, di masa depan, bisa berakhir bunuh diri, jadi pelacur, jadi cewenya si Ashton, atau justru malah mati di usia kecilnya. Semua ini juga berlaku untuk 2 temennya yang lain, si Tommy dan Lenny, dengan akhir yang berbeda2 pula.

Gua nonton film ini, jadi inget buku-buku berjenis “Pilih Sendiri Sendiri Jalan dan Petualanganmu !”. Buku-buku yang ngelarang pembacanya untuk membaca halaman demi halaman. Buku-buku yang membuat pembacanya harus direpotkan dengan membulak-balikan halaman demi ngedapetin terusan ceritanya, yang didesain sedemikian rupa agar menarik dan memiliki banyak ending. Ya, film ini, kurang lebih kaya gitu.

Film ini mendadak jadi relevan dengan prolognya.


It has been said that something as small as the flutter of a butterfly’s wing can ultimately cause a typhoon halway around the world.–Chaos Theory.


Ngerubah masa lalu, walau sekecil kepakan sayap kupu-kupu sekalipun bisa berimbas sedashyat angin topan yang mampu menyerbu sebagian belahan dunia. Ini menunjukkan bahwa perjalanan lintas ruang dan waktu adalah suatu hal yang sangat-sangat berbahaya. Penciptaan mesin waktu—kaya di film-film—adalah dosa yang tak termaafkan. Are humans trying to play as God ? That’s insane. Tapi semuanya ya, relatif. Siapa tau di masa depan yang namanya perjalanan antar ruang dan waktu itu bener-bener bisa terjadi. Siapa tau—kaya di film-film lagi—kalaupun mesin waktu ngga bisa diciptain, tapi ada crack di lubang waktu yang membuat dunia sekarang, jadi terhubung dengan dunia pararel. Emang bener-bener ada gitu, dunia pararel ?

Menurut gua dunia pararel adalah, sebuah dunia yang tercipta lewat manifestasi dalam bentuk ruang dan waktu yang lain, karena efek kedua atau ketiga yang muncul setelah satu pilihan diambil oleh manusia.

Inget ya, dalam setiap pilihannya manusia cuma bisa ngambil satu, ngga bisa dua atau lebih. Selalu antara A dan B. Atau kalau mau ambil A dan B dua-duanya, maka sesungguhnya kita menciptakan pilihan baru yaitu pilihan C.


A + B ≠ AB, tapi A + B = C.


Kalaupun kita ngga mau milih antara A dan B, maka sesimple-simplenya yaitu seperti ini,


A – B ≠ 0, atau A – B ≠ C, tapi A – B = D.


Hey, another choice.


Itu membuktikan bahwa biarpun manusia punya berjuta-juta pilihan dalam satu waktu, maka pada hakikatnya, ketika dia memilih, dia hanya memilih satu dari jutaan pilihan itu. Meski pilihannya ini merupakan hasil dari akumulasi pilihan-pilihan yang lain. Pokoknya tetep satu.

Prologue.

I'm so excited. The first few entry will be taken from my old Friendster's blog. Enjoy.

Regards,

Alfa